[Ficlet] Watch Out for Your Words

Watch Out for Your Words
Kim Junmyeon (EXO), OC; friendship, angst; PG-13; 1173 words
warning: attempted suicide, character death

You never know how your words will affect other people, right?

— – —

“Sok tahu,”

Satu goresan.

“Tidak usah pura-pura, tidak usah banyak mengeluh. Kau mau merendahkan kami, memangnya?”

Sayatan lain.

“Orang sepertimu, sih, tak perlu banyak bicara. Mengesalkan.”

Merah, pekat. Aroma besi anyir. Tangannya gemetaran, segaris scarlet serupa mawar beradu dengan kulit putih, tapi ia tetap menggoreskan mata cutter-nya pada sebelah tangannya yang lain.

Perih? Apa kau masih memikirkan perih bila rasa sakit di hatimu jauh lebih mengiris daripada segores-dua gores benda tajam di kulit?

Nyawa? Apa dia membutuhkannya? Tidak ada yang peduli ia hidup atau tidak–malah mungkin justru akan banyak yang bersyukur bila ia menghilang; para manusia tak tahu malu yang kadang bermanis-manis di depannya bila mereka butuh bantuan, lalu meludahkan kalimat sepedih asam klorida, juga di depannya atau kadang di belakangnya, bila ia melakukan hal yang entah bagaimana selalu salah di mata mereka. Apapun itu. Mereka hanya membutuhkannya sebagai boneka–atau sansak tinju, mungkin.

Poin pertama: kau tidak bisa menyenangkan semua orang. Catat itu.

Poin kedua: orang yang lebih busuk darimu biasanya bisa mengaturmu, dan jangan pula heran bila jumlah mereka lebih banyak darimu.

Ia membiarkan darah mengalir, deras, deras, deras. Ujung jari-jari tangannya memucat dan kesemutan tapi ia tak peduli–tidak bila ia terlalu sibuk menunduk, membiarkan tetesan air mata yang meluncur turun dari sudut-sudut matanya bercampur dengan cairan merah pekat di tangannya, setetes demi setetes membentuk genangan di lantai. Benaknya berputar–bila ia mati lantas menghantui sekolah ini, apa ia bisa membalas dendam pada bocah-bocah itu? Menghantui mereka hingga ketakutan, mungkin? Ah, entah kenapa mati terdengar jauh lebih menyenangkan daripada hidup dan menjadi bulan-bulanan para penjilat keparat itu, manusia bertabiat busuk yang berusaha menutupi bau tengik mereka dengan senyuman manis. Akting. Aroma palsu.

Punggungnya perlahan tersandar sepenuhnya ke dinding, tidak mampu menahan beban tubuhnya. Ini dia. Sebentar lagi dan ia akan…

Can you please stop hurting yourself?!

Seseorang. Suaranya familier. Ia menoleh, berusaha mengenali siapa yang baru saja bicara, tapi pandangan matanya terlalu kabur untuk mengenali apapun kecuali warna hitam di atas kepala putih, kemeja putih, blazer abu-abu, dasi yang entah rapi atau tidak, dan celana seragam. Seseorang menarik lengannya–apa tangan orang itu yang dingin, atau lengannya yang dingin?

Ada ikatan kencang di pergelangan tangannya; orang itu melepaskan cengkeramannya sebelum kembali bicara, “Apa kau masih bisa—”

Terlambat, kegelapan sudah menjemputnya.

— – —

Namanya Ta. Banyak bicara, kadang, cukup ramah -menurutnya-, dan benci dipuji. Bukannya ia sombong–ia hanya menganggap tak ada sesuatu dalam dirinya yang pantas untuk dipuji. Hasil belajar, prestasi, kemenangan bukan sesuatu yang bisa dipuji–semua orang bisa mencapainya, bila mereka mau, begitu yang diyakini Ta selama ini.

Ta tidak suka mencari masalah, tapi entah kenapa masalah terus-menerus mencarinya.

Junmyeon termasuk salah satunya.

— – —

“Hei,”

Ia mengerjap. Langit-langit putih, dinding putih, lampu putih, tirai putih, jendela yang terbuka sedikit. Bau karbol dan antiseptik. Dalam hati Ta mengumpat, kenapa aku tidak bisa lolos dari tempat ini, lagi?

Sebelah tangan menyentuh pipinya dan ia menoleh. Junmyeon terburu menarik kembali tangannya, beralih duduk di kursi di sebelah tempat tidur Ta. Matanya mengawasi cairan IV yang menetes perlahan. Ta mengikuti arah sorot matanya, sebelum berkata, “Berapa, kali ini?”

Junmyeon menghela napas, “Tiga kantung penuh. Butuh berjam-jam mencarikan semua itu untukmu–lain kali, tolong ingat bahwa golongan darahmu cukup langka di sini, mengerti?”

Tidak ada sahutan. Junmyeon beralih menatap Ta yang, seperti biasa, menghindari tatapannya, tahu bahwa sebentar lagi Junmyeon akan memulai sebuah kuliah panjang. Ta sudah hapal, begitu pula dengan Junmyeon setelah keempat kalinya gadis itu ia bawa ke rumah sakit karena alasan yang sama; percobaan bunuh diri–percobaan orang gila, begitu Junmyeon menyebutnya.

Ta mengamati kasa yang menutupi titik-titik luka di sepanjang pergelangan tangannya, mengernyit nyeri ketika rasa sakit yang tajam terasa tiap ia menggerakkan tangan barang sedikit saja. Junmyeon menangkap perubahan ekspresi Ta, “Tidak bisakah kau berhenti?”

Ta tersenyum miring, “Tidak ada alasan untuk berhenti, ada banyak alasan untuk tetap melanjutkannya.”

“Kau melupakanku?”

“Tidak, tapi kau bukan alasan yang cukup,” nada suara Ta berubah mencela, “Apa gunanya ada satu orang yang peduli bila ada belasan orang lain yang lebih ingin kau lenyap, lebih ingin kau terpuruk lalu mentertawakanmu keras-keras tepat di depan wajahmu? Tidak ada perbedaan yang muncul setelah kau peduli, Junmyeon. Mereka justru makin mengharapkan hal buruk terjadi padaku,”

Rahang Junmyeon mengeras, “Berhenti bicara seperti–”

“Itu kenyataan. Kau tidak bisa mengubah kenyataan,” pahit, pahit sekali, “Kau peduli. Kau ada. Kau tahu aku ada di sini. Tapi apa perubahan yang kau buat? Adakah? Apa kau berhasil menyuruh mereka berhenti menggunakanku sesuka mereka? Berhenti menghina, berhenti menyindir di belakang, berhenti bersikap tak tahu malu?” tatapan tajam gadis itu tiba-tiba telah menusuk balik mata Junmyeon, “Apa kau berhasil meyakinkan mereka bahwa mereka salah? Bahwa memperlakukan seseorang seperti mereka adalah ras terbaik di dunia dan orang lain hanya sampah adalah hal yang keliru?”

Junmyeon tahu persis jawaban untuk setiap pertanyaan Ta. Tidak. Tidak ada yang berubah. Tatapan mata Ta yang menusuk dan menyiratkan tantangan membuat Junmyeon tak nyaman–ia bangkit berdiri, menyempatkan diri membenamkan hidungnya di sela-sela rambut Ta, menghirup sedikit sisa aroma shampoo lemongrass yang sudah tercampur bau khas rumah sakit.

“Aku peduli dan kau hanya perlu mengingat itu,” kata Junmyeon sebelum menutup pintu kamar rawat inap Ta, meninggalkan gadis itu dan lamunan-lamunannya. Ta tak bereaksi, hanya menatap pintu yang perlahan mengayun tertutup sebelum menggumam, “Dan aku tak pernah memintamu agar peduli padaku, kau tahu? Lebih baik kau berhenti sebelum menyesal.”

— – —

Ta selalu berharap Junmyeon tak pernah memergokinya yang tengah sibuk dengan cutter di rooftop sekolah pada suatu sore. Ia selalu berharap Junmyeon tak perlu mengenalnya, tak perlu bersikeras mengawasinya sejak lelaki itu menarik paksa bilah tajam cutter dari genggaman tangannya dan membawanya ke rumah sakit untuk pertama kalinya. Karena begitu Junmyeon berkata ia peduli, bahwa ia akan tetap mengawasi Ta seberapa keras gadis itu menolak, semakin sulit bagi Ta untuk percaya bahwa ia tak akan baik-baik saja dengan Junmyeon di sisinya.

— – —

Junmyeon hanya ingin Ta tahu bahwa ia berharga–setidaknya bagi Junmyeon.

Menurut Ta, hanya berharga bagi Junmyeon bukan masalah yang lebih penting daripada menghilang dari dunia ini secepatnya.

— – —

You’re the strongest person I have ever met in this world. You can do it. You will survive. I do believe in you. Don’t forget that I’m here with you, okay?

Ta menghela napas, mematikan ponselnya dan melemparnya sembarangan ke suatu tempat di antara tumpukan barang di atas kasur.

Ia tak pernah meminta Junmyeon untuk peduli.

— – —

Don’t waste your life thinking of what they said to you.

Sayatan pertama. Ta tahu persis titik mana di pergelangan tangannya yang berdenyut paling kuat.

Gonna pick you up right now. Wait for me.

Bukan salah Ta kalau ia suka merendah. Bukan. Ia menekankan mata pisau makin dalam, dalam, dalam, berusaha menghilangkan rasa nyeri yang timbul di dadanya ketika kata-kata sialan itu terulang di benaknya. Menyebalkan. Kau menggelikan, bila kau merendah begitu. Tak perlu pura-pura tidak bisa. Jangan mempermalukan kami.

Where are you?

Pening–Ta tidak pernah merasa merasakan pening sehebat ini sebelumnya. Ia memejamkan mata tepat ketika ia mendengar suara langkah-langkah kaki yang tergesa-gesa di tangga menuju rooftop.

Ta?

Kegelapan menjemputnya lagi–Ta yakin kali ini ia tak akan pernah kembali.

end.

12 thoughts on “[Ficlet] Watch Out for Your Words”

    1. I GOT A SPOT. AGAIN. CAN I CRY.
      no, actually, can i cry now that i’ve read the story?
      (you know i’m just gonna whine and demand reasons from you) WHY DO YOU DO THIS.
      dan… orang-orang menyebalkan, people are the worst. aku entah bagaimana mengerti perasaannya Ta. poor girl. T^T

      1. /says nothing and gives you some tissue/
        because i kinda got the mood to do so caused by one or more thing(s)…?
        some people are. (you aren’t, though *eh). i want to make my characters relate-able to real life, so i’m soooooo glad you can feel how she felt. (though it isn’t a pleasant thing.)
        thanks for readiiiing~ ❤

  1. wow, ini keceh banget !! ada makna kuat yg tersirat dari fanfic ini kak ra (?) cuman mau bilang ‘daebak^^)b ‘

  2. omo! /nangis/
    ini ceritanya anak pinter di bully terus bunuh diri? hiks.. keren, kak! gue kagum sama cara kakak nulisnya T3T)b! pokoknya daebak-lah~ keep writing ya kak, aku tunggu karya kakak selanjutnya :3

    1. ng… belum tentu? hehe, pokoknya dia ter-bully. masalah pintar atau nggak sih tergantung penafsiran saja~
      thanks for reading~ (and don’t praise me this much, i too hate praises~)

  3. enggak mau nge-spot.
    entah pada akhirnya kegelapan adalah kematian atau suatu yang lain, aku sendiri pada akhir cerita justru ngarepin si Ta meninggal sekalian. panggil aku jahat dan aku enggak bakal nendang pantat kalian sampe merah.
    seriously, aku pikir kalo lu emang kaga bisa idup lagi, ya udah, nyerah aja sono. kan jadinya keliatan, siapa yang emang enggak bisa ngedepin tantangan dari you-know-who, siapa yang emang atinya udah tahan tempa tahan banting.
    tapi, sama judulnya aku suka sih.
    maap kak, kalo ada yang enggak enak di kakak.

    1. itu mati kok endingnya, tenang *eh
      hehe, cuma kadang seseorang bakal sulit juga menghadapi yang seperti ini kalau motivasinya udah habis. makanya, beruntunglah kalian yang punya sumber motivasi segudang. 🙂
      nggak kok~ tenang aja, hehehe :B
      thanks for reading ^^

Leave a reply to Lee ChanRi || Vanessa Lee Cancel reply