Tension Type Headache

Ugh. Sinar matahari. Bau cairan antiseptik. Tunggu-kenapa sinar matahari seterang itu?

Matanya berkedip, pelan, bulu mata terasa lengket dan berat oleh kotoran. Berat? Huh. Kepalanya juga berat. Seperti diikat dan ditimpa batu. Yang ia tahu, ada terminologi untuk kondisi ini–

“Apa kabar?”

Ugh. Lagi. Dia kenal suara itu–menyebalkan. Kadang disertai nada merendahkan terutama bila bicara dengannya. Mungkin selama sepuluh tahun dia mengenalnya, jumlah jari di sebelah tangan saja cukup untuk menghitung berapa kali ia tak merendahkannya.

“Halo, Ed.” dahinya mengernyit ketika gelombang rasa nyeri tiba-tiba datang dan kepalanya terasa makin berat. Ya Tuhan. Memangnya apa yang terjadi padanya tadi? Yang dia ingat hanya tertidur di kantor pribadinya setelah operasi terakhir dini hari ini. Atau kemarin? Apa ini masih hari yang sama?

Ia tersenyum–menyeringai–entahlah. “Wah, kau masih ingat aku? Kalau begitu, kemungkinan besar memorimu tidak terganggu. Kabar baik, kan? Tapi sesuai protokol, aku tetap harus menanyakan ini–siapa namamu?”

“Khiona. Andrews. Atau Ky. Terserah.” dia–Ky berkata dengan rahang terkatup. Setengah karena kesal dan setengahnya lagi karena nyeri. Jadi ini rasanya menjadi pasien yang sedang kesakitan setengah mati tapi masih harus melalui anamnesi? Ky bersumpah ia tidak akan pernah memperlama penyiksaan ini pada pasien-pasiennya.

“Baik. Um, apa aku pernah bilang kalau namamu seperti Dewi Salju dalam mitologi Yunani?”

“Ya, dan terdengar seperti anjing dalam bahasa yang sama. Apa kabar buruknya?”

“Tunggu, tunggu. Jangan terburu-buru, kau tahu, ada sesuatu yang disebut standar operasional?” Ed membalik lembaran kertas di papan jalan dalam genggamannya. “Oke. Apa yang terakhir kali kau ingat sebelum pingsan?”

“Tidur di kursi putar. Dan kaki pegal. Kau tahu, operasi arthrodesis. Bisa berjam-jam.” Ky memicingkan matanya. “Hari apa ini?”

“Hmm? Oh. Minggu, tiga sore.” Ed berhenti menulis di lembar rekam medis, “Dan ya, kau tidak sadar selama dua hari.”

“…dua hari.” ia ingin bangun, sungguh. Atau setidaknya duduk. Kenapa badannya tidak kooperatif?

“Yep. Itu kabar buruk pertama. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana kondisi kepalamu?”

“Masih utuh?”

Ed berdecak tak senang. “Jangan bercanda, Khiona. Kalau ada nyeri, di angka berapa dalam skala satu sampai sepuluh?”

“Delapan? Wajah berkerut sampai ingin menangis?” tangannya bisa bergerak. Ya Tuhan, syukurlah. Ia berusaha bertumpu pada bahunya dan bangkit–masih tidak bisa.

“Dan kenapa kau tidak tampak seperti itu?”

Ky memutuskan tak akan menanggapi komentar Ed lagi. “Apa kabar buruk selanjutnya?”

“Sebentar. Kepalamu seperti tertekan, tidak?”

“Ya Tuhan. Iya. Jadi, bagaimana?” ah! Ky sudah ingat terminologinya. “Hanya tension headache, kan? Tidak mungkin aku tidak sadar dua hari. Jangan bercanda.”

Ed mengangkat bahu, menyimpan pena di kantung yang ternoda coretan, dan kembali membuka mulut, “Tanya saja pada Dean yang sudah seminggu jaga malam di sini. Kau benar-benar tidak sadar selama dua hari. Itu kenyataannya. Omong-omong, hasil MRI-mu baru saja keluar.”

Ky sungguh tidak pernah merasakan sakit seperti ini sebelumnya. Hanya berpusat di kepala dan terasa tumpul, berulangkali datang dan pergi, intensitas tinggi. Seingatnya tension headache tidak sampai menimbulkan nyeri hebat, tapi bukankah dia sehat-sehat saja selama ini? Nutrisi baik, rutin olahraga, hanya sering kelelahan saja. Dan stres. Terutama bila salah satu teman kuliahmu yang paling menyebalkan tiba-tiba muncul sebagai kakak kelas saat residensi.

“Addison Lowell, jangan bertele-tele–mana hasil MRI-ku? Tension headache macam apa yang menimbulkan nyeri? Kenapa sakit sekali? Apa kalian tidak memberi analgesik? Kau menyebut dirimu calon dokter anestesi tapi–”

“Aku tidak pernah bilang kau mengalami tension headache, kan?”

Ky memejamkan matanya, “Astaga. Bisa langung ke inti masalahnya?”

“Yah–”

“Rasanya lebih baik aku mati saja. Atau entah. Terserah. Mana hasilnya?” ia juga sudah ingat mereka berada di mana. Salah satu ruang isolasi di ICU, terdekat dengan ruang kantor. Entah kenapa ia dibawa ke sini–mungkin karena lokasinya dekat dan orang-orang malas membawanya ke mana-mana.

“Kau ingin mati saja?” Ed tertawa. “Kukira aku tadi akan menyampaikan kabar buruk. Rasanya aku salah, ya?” katanya sambil meletakkan sebuah map tipis di meja di sebelah kasur Ky yang sigap mengambilnya. Akhirnya fungsi tubuh bagian atasnya kembali. Syukurlah.

“Omong-omong, hasilmu dibaca sendiri oleh dr. Wales, jadi sepertinya tidak mungkin ada kesalahan. Bye, Khiona. Be a good patient, ‘kay?”

end.

based on this promptanyway di sini sebenarnya aku berusaha menulis pakai bahasa indonesia seluruhnya, tapi pada akhirnya tetap aja ada yang nyelip hiks hiks sedih. maafkan kekakuannya karena ya gitu kan aku tidak elastis seperti Sia yang punya elastic heart. ugh sudahlah bye.

One thought on “Tension Type Headache”

Leave a reply to aquamarine Cancel reply